Pages

Saturday, July 13, 2013

Kendalikan Bisnis Narkoba Dgn Ponsel

Badan Narkotika Nasional awal tahun ini mengeluarkan pernyataan bahwa sebagian besar bandar narkotika di Indonesia mengendalikan bisnis mereka dari penjara dengan bermodal telepon seluler.
Hal itu sesungguhnya bukan merupakan sebuah kejutan mengingat tingginya jumlah narapidana narkoba di Indonesia.

Berdasarkan data resmi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, hingga Maret 2013, ada 51.130 orang yang dipenjara karena kejahatan narkoba.
Separuh dari jumlah itu yaitu 24.568 adalah pengedar dan sisanya pemakai.
Pada 2011, publik dikejutkan ketika BNN mengungkap jaringan narkoba yang dikendalikan oleh seorang napi di Penjara Nusa Kambangan.
Napi itu mengelola perdagangan mariyuana dengan omset Rp3 miliar per bulan.

Sejak 2007, penjara itu dijadikan penjara khusus untuk napi kasus narkoba. Keputusan itu bertujuan untuk mengisolir mereka dan menghentikan sirkulasi narkoba di Indonesia.
Awal Juni lalu, BNN melakukan razia di Jakarta Barat dan menangkap dua pengedar. Kepada polisi, mereka mengakui bahwa bos mereka adalah seorang napi yang sedang menjalani hukuman penjara di Cipinang karena kejahatan serupa.

Juru bicara BNN, Sumirat, mengatakan pada BBC bahwa para bandar narkoba di penjara mengandalkan telepon seluler untuk menjalankan bisnis mereka.
"Misalnya, razia kami bulan Juni lalu, big boss-nya di Penjara Cipinang di Jakarta Timur dan waktu aparat menggeledah sel mereka, kita menemukan ponsel yang ia pakai untuk bisnisnya," kata Sumirat.
Rotasi pegawai
"Alat komunikasi itu kuncinya. Jika ada satu orang saja napi yang punya HP, biar HP nya sudah tua sekali pun, itu sudah cukup untuk mengendalikan bisnisnya," tambah Sumirat.
Bagaimana alat komunikasi seperti ponsel bisa masuk ke penjara?

"Napi menggunakan berbagai cara untuk menyelundupkan ponsel ke penjara." 
"Macam-macam modusnya, dari disembunyikan dalam makanan sampai dipretelin satu persatu, baterainya dulu misalnya atau kelalaian petugas saat menggeledah sel," katanya lagi.
Mengenai kemungkinan kelalaian petugas lapas, Dr Hafid Abbas dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengatakan hal itu adalah "hal yang tidak bisa dipungkiri."
"Dan kalau memang masih ada perlakuan diskriminasi, karena pegawai lembaga pemasyarakatan gajinya rendah dan ia kenal konglomerat atau pejabat di dalam yang selalu tergoda untuk mendapat fasilitas dan jika memang terbukti orang itu harus dihukum," kata Abbas.

Ia juga menyarankan agar rotasi pegawai lapas lebih intensif dilakukan untuk mecegah potensi pelanggaran.
"Agar tidak tergoda, maka rotasi pegawai lapas harus lebih intensif. Penjara kan banyak, jadi mobilitas petugasnya harus tinggi agar tidak ada kesempatan untuk kenalan, Dirjen Pemasyarakatan juga harus memperhatikan pegawainya terutama mutasi pegawai-pegawai itu sendiri," tambahnya.

Komitmen pemerintah
Sementara dari sisi pengendalian narkoba sendiri, Sumirat mengatakan BNN telah merekomendasikan sejumlah saran kepada aparat yang berwenang untuk memastikan tidak ada lagi kasus napi menjadi bos narkoba.

"Pertama, pisahkan bandar atau pengedar dari pemakai di penjara," kata dia.
"Kedua, bisa menggunakan kemajuan teknologi seperti memasang pengacak sinyal," tambahnya lagi.
Cara lain adalah dengan memberikan ancaman untuk menggunakan peraturan tegas terhadap napi yang tidak kapok melakukan kejahatan.

"Saya tahu banyak napi yang ketakutan kalau mendengar Register F," kata Sumirat.
Register F adalah kategori yang diberikan pada narapidana yang tertangkap melakukan tindak pidana saat saat berada di penjara.

"Begitu seorang napi dimasukkan dalam kategori Register F, ia akan kehilangan hak remisi, hak kunjungan keluarga, asimilasi, izin kunjungan dokter dan hak pembebasan bersyarat," kata dia.
"Yang dibutuhkan adalah komitmen dari lembaga-lembaga terkait untuk benar-benar melakukan usaha penegakan disiplin di penjara, itu kuncinya."

No comments:

Post a Comment