Pages

Showing posts with label HEALTH. Show all posts
Showing posts with label HEALTH. Show all posts

Tuesday, July 30, 2013

Kenali Jenis Gangguan Sex

Dalam kondisi tertentu, hal-hal yang berhubungan dengan seks tidak lagi terasa nikmatnya. Berbagai gangguan bisa membuat gairah seks justru terasa sangat menyiksa, demikian juga ereksi dan orgasme yang kadang malah merepotkan.

Dari berbagai jenis gangguan tersebut, priapism boleh jadi merupakan gangguan yang paling menyiksa secara fisik karena pada kasus tertentu harus diatasi dengan operasi. Ada juga yang menyiksa secara batin, antara lain parafilia yang membuat penderitanya sulit menemukan pasangan dengan ketertarikan yang sama dengannya.

Selengkapnya, berikut ini 5 jenis gangguan yang membuat seks jadi terasa sangat menyiksa.

 

1. Hiperseks
Pada wanita, kondisi ini disebut juga dengan istilah nymphomania sementara pada pria disebut satyriasis. Tanda-tandanya adalah tidak mampu mengendalikan hasrat seksual dan kadang-kadang terpaksa harus segera dilampiaskan pada siapapun yang saat itu kebetulan ada di dekat si penderita.

Dilihat dari penyebabnya, kondisi ini mirip dengan orang yang tidak bisa mengontrol nafsu makan karena sama-sama dipicu gangguan sirkuit di otak. Namun orang masih bisa makan kapan saja dan di mana saja, sementara untuk berhubungan seks di sembarang tempat tentu bukan ide yang bagus.

2. Priapism
Nama penyakit ini diambil dari nama dewa kesuburan dalam mitologi Yunani, Priapus. Sesuai penggambaran Priapus yang punya kemaluan besar dan selalu dalam kondisi ereksi, penderita priapism juga memiliki penis yang selalu tegang pada saat-saat yang tak terduga sekalipun tidak ada hasrat dan rangsangan seksual.
http://anehdidunia.blogspot.com

Kondisi ini sering dipicu oleh overdosis obat-obat perangsang seperti viagra (sildenafril). Bisa juga dipicu oleh cedera sumsum tulang belakang, lalu menyebabkan aliran darah terkonsentrasi di suatu organ salah satunya alat kelamin yang secara anatomis letaknya cukup rendah untuk dialiri darah.

3. Seksomnia
Jika perilaku berjalan saat tidur (sleepwalking) dianggap berbahaya, maka berhubungan seks saat tidur tidak cuma berbahaya tetapi sekaligus memalukan apabila terjadi saat sedang menginap di tempat orang. Sama seperti sleepwalking, berhubungan seks saat tidur (seksomnia) juga diggolongkan dalam kategori gangguan perilaku saat tidur atau parasomnia.

Bicara soal angka, seksomnia cukup sering terjadi yakni mencakup 8 persen dari seluruh penderita gangguan tidur. Angka ini diperoleh berdasarkan pengakuan pasangan tidurnya, sebab si penderita biasanya tidak dapat mengingat apa yang dilakukannya sepanjang malam.

4. Parafilia
Sesuai dengan asal katanya yakni para (menyimpang) dan phillia (ketertarikan), gangguan ini ditandai dengan penyimpangan hasrat seksual. Cakupannya cukup luas, antara lain meliputi ketertarikan terhadap obyek tertentu dari pasangannya (fetisisme), kekerasan dan penyiksaan (sadomasokisme), mayat (nekrofilia) dan binatang (zoofilia).
http://anehdidunia.blogspot.com

Dalam ilmu psikologi, gangguan ini dikategorikan dalam perilaku Obsessive-Compulsive Disorder (OCD). Karena ketertarikannya yang tidak wajar, penderitanya sering kesulitan untuk mendapat pasangan yang cocok. Kalaupun ada, kadang-kadang perilaku seksual yang tidak semestinya itu justru dapat membahayakan dirinya.

5. Persisten Sexual Arousal Syndrome

Sindrom kenikmatan seksual yang terus menerus ini menyebabkan penderitanya selalu merasa horny, meski tidak ada rangsangan seksual. Bahkan pada tingkat kenikmatan tertentu, sindrom ini bisa memicu orgasme spontan tanpa harus berhubungan seks.

Berbeda dengan hiperseks, sindrom ini tidak perlu dilampiaskan dengan berhubungan seks karena kenikmatan itu akan datang sendiri dari rangsang nonseksual misalnya makanan. Karena begitu mudahnya mendapatkan kepuasan, dalam sehari penderita sindrom ini bisa mengalami orgasme hingga 300 kali.

Sunday, July 28, 2013

Why Smokers Still Smoke

GIVEN how hazardous it is to their health, why do smokers continue to smoke?

It’s not that they are all hopeless addicts. Many smokers are capable of quitting.
It’s not that they are ignorant. Studies show that smokers are at least as informed as nonsmokers about the risks of smoking — and possibly more informed.

You might suspect, then, that smokers tend to be risk takers by nature. And some evidence suggests that smokers do take more risks than nonsmokers: they are more often involved in traffic accidents, less likely to wear seat belts and more likely to engage in risky sexual behavior. Women who smoke even have mammograms less frequently than their nonsmoking counterparts.

But we don’t believe that smokers have a greater tolerance for risk. As we argue in a study published this month in the journal PLoS One, the personality trait that distinguishes smokers from nonsmokers is their relative inability to delay satisfaction and respect long-term considerations (like their health). In other words: it’s their poor self-control.

Key to our study is a card game known as the Iowa gambling task, commonly used to measure risk taking. You are presented with four decks of cards. Each card reveals a financial outcome: “You won $100,” or “You lost $250,” for example. Your task is to keep picking cards from whichever decks you would like, trying to make as much money as you can. The twist is that the decks have different payoff distributions: two of them offer higher risk (cards with larger gains and larger losses) but long-term overall losses; the other two decks offer lower risk (smaller gains and smaller loses) but long-term gains.

Most participants, after selecting several dozen cards from the various decks, learn to stick with the two “good” decks and end up faring well. Studies have shown, however, that people with brain lesions affecting decision making tend to favor the “bad,” riskier decks and fare poorly. The same is true of chronic cocaine and cannabis users. But when smokers and nonsmokers perform the Iowa gambling task there are no significant differences between the two groups, as the psychologist Carl Lejuez and his colleagues have demonstrated. This strongly suggests that smokers are not, in fact, especially tolerant of risk.

So what accounts for smokers’ risky-looking behavior? Our contention is that smokers exhibit poor self-control in the face of immediate temptation — which can look like a willingness to assume risk. (For instance, you might choose to have sex without a condom not because you are comfortable with the risk but because you are too weak-willed to bother with the inconvenience.)

To test our hypothesis we took 100 research participants (smokers and nonsmokers) and had them perform a modified version of the Iowa gambling task. We focused on a subtle difference between the two “bad” decks. One offers payoffs that commonly result in immediate satisfaction — it produces a gain of $100 in 9 out of 10 draws — but in 1 of 10 draws it produces a disaster: losing $1,250. The other bad deck is less immediately satisfying — the losses are smaller ($250) but more frequent, occurring about every second draw. Thus both decks are bad overall but the first is more satisfying in the short run.

In addition, in our modified version, every time a participant selected a card from one of the four decks, we showed the outcomes that would have resulted from selecting from the other three decks. This increased the salience of the immediately satisfying deck, since when choosing any other deck, 9 times out of 10 the player could see that this deck produced the best outcome.

We found that as the game progressed, smokers selected this deck about 1.5 times more than nonsmokers. They could not resist the short-term pleasure despite the long-term disaster.
(We also had our research subjects play another version of the game in which the good and bad decks differed in terms of risk but not in the immediacy of their satisfying outcomes. This change wiped out the differences between smokers and nonsmokers, confirming the Lejuez team’s finding that smokers are not more tolerant of risk.)

Our finding is admittedly nuanced: it is not risk taking per se that drives smokers’ risky behavior; it’s a weakness for activities that are profitable most of the time yet hazardous eventually.
This distinction may suggest strategies for fighting smoking. For example, hospitals and universities have started to ban smoking not only inside buildings but also at their perimeter; while originally proposed to address secondary smoking hazards, this may also have the benefit of imposing an additional short-term inconvenience on smoking. If we are right that smokers tend to have poorer self-control, such manipulations may be used to help sustain their willpower.

Eyal Ert is a senior lecturer of behavioral and management sciences at the Hebrew University of Jerusalem. Eldad Yechiam is an associate professor of behavioral sciences at the Technion-Israel Institute of Technology.

Wednesday, July 10, 2013

Jangan Makan Apel bersama Bijinya



Sebagian ahli gizi merekomendasikan agar apel dimakan bersama dengan kulitnya supaya manfaat seratnya bisa didapatkan. Meski begitu, jangan makan apel bersama dengan bijinya.

Biji apel mengandung zat amigdalin yang di dalam organ pencernaan bisa diubah menjadi hidrogen sianida yang beracun. Namun, kalau hanya mengonsumsi satu buah apel tentu efek toksin dari biji tersebut sangat kecil.

Apel bukanlah satu-satunya buah yang mengandung amigladin. Buah lainnya antara lain aprikot, peach, plum, almond, dan quince. Kadar amigdalin dalam apel tergolong kecil dan bijinya harus dikunyah dengan baik baru zat tersebut keluar.

Amigdalin adalah toksin glikosida yang jika digabung dengan enzim pencernaan menghasilkan hidrogen sianida, racun yang sama dengan yang disebut Cylon B. Racun tersebut juga dipakai untuk pembunuhan massal di kamp konsentrasi saat Perang Dunia II.

Meski begitu, buah atau biji buah yang mengandung amigdalin bisa diproses untuk menghilangkan zat beracunnya. Contohnya adalah singkong yang kandungan cyanogen-nya sangat tinggi, tetapi bisa diolah menjadi tepung tapioka. Pemasakan juga membuat cyanogen dalam singkong menjadi tidak berbahaya. Racun dalam kacang almond juga bisa dihilangkan dengan proses sedemikian rupa.

Amigdalin yang sudah diubah menjadi hidrogen sianida bisa berbahaya karena ia akan mengurangi kemampuan sel darah merah membawa oksigen. Meski dalam jumlah kecil tubuh bisa membuang hidrogen sianida, dalam jumlah besar, itu bisa berakibat fatal.

Seseorang yang keracunan hidrogen sianida akan mengalami gejala gemetar, lemas, mual, muntah, detak jantung berdebar cepat, dan sakit kepala. Dalam jumlah besar, hidrogen sianida akan menyebabkan sesak napas, koma, gagal napas, tekanan darah rendah, kerusakan paru, bahkan kematian.

Tetapi, tak perlu khawatir karena memakan satu buah apel utuh bersama bijinya tak akan membuat kita keracunan. Permukaan biji yang keras menjaga agar racun tetap berada di dalam biji dan bisa melewati organ pencernaan secara utuh.

Karena itu, jangan pernah menggigit biji apel. Jika ingin lebih aman, buanglah biji apel sebelum dikonsumsi, terlebih untuk anak yang kadar toleransi tubuhnya terhadap amigdalin masih rendah. Buang juga biji apel sebelum apel diblender atau dibuat jus, dibuat selai, atau sirup.

Tuesday, July 9, 2013

Believe Or Not

HIV AIDS Tak Lagi Ada Pada Dirinya

Timothy Ray Brown diketahui positif HIV AIDS (human immunodeficiency virus) pada 1995. Kini, ia masuk jurnal ilmiah sebagai orang pertama yang berhasil ‘menghapus’ virus HIV dari tubuhnya secara sepenuhnya. Dokter menyebut kondisi ini ‘penyembuhan fungsional’.

Pada 2008, Brown tinggal di Berlin dan mengidap HIV dan leukemia. Di sana, ilmuwan melakukan cangkok tulang sumsum untuk mengobati leukemianya. Ilmuwan mengatakan, Brown mendapat sumsum dari donor yang termasuk dalam 1% Caucasia kebal HIV.

“Saya berhenti berobat HIV di hari saya mendapat transplan itu,” papar pria yang dijuluki ‘Pasien Berlin’ itu.

 

Pasien Berlin Meningkatkan Kemungkinan HIV AIDS Untuk Disembuhkan


Peneliti AIDS Dr Jay Levy dari University of California, San Fransisco (UCSF) mengatakan, kasus Brown membuka pintu ‘riset penyembuhan’.

Namun, dokter menekankan, prosedur radikal Brown mungkin tak cocok dengan penderita HIV AIDS lain karena sulitnya cangkok sumsum dan menemukan donor yang sesuai.

“Tentunya Anda tak mau melakukan cangkok ini karena risiko kematiannya,” ungkap Paul Volberding dari UCSF.

Banyak pertanyaan mengenai pengobatan Brown tak terjawab, lanjutnya. “Satu elemen pengobatannya nampaknya memungkinkan virus HIV AIDS keluar dari tubuhnya,” lanjutnya lagi.

Hal ini akan menjadi studi yang menarik, tuturnya.