Chung Ju-Yung (1915 - 2001) adalah pendiri Hyundai, perusahaan mobil
terbesar di Korea, pionir perubahan, dan perintis globalisasi di
negaranya. Anak petani ini pernah menjadi buruh tani, kuli bangunan, dan
kuli pelabuhan. Siapa nyana ia bisa menjadi raja industri kaliber
dunia.
Chung Ju-Yung lahir November 1915 di Asan-Ri, Songjon-myun, Perfektur
Tongchon, Kangwondo, di daerah pegunungan yang terletak di bagian utara
Korea. Masa itu Korea dikuasai Jepang.
Orangtuanya adalah petani yang hidup pas-pasan, walaupun mereka
keturunan Chung Mong-Ju, penyebar ajaran Konfusius yang terkemuka
menjelang akhir era kerajaan di Korea. Chung Mong-Ju juga seorang
penyair besar.
Ju-Yung pernah belajar 3 tahun di sekolah kampung tempat kakeknya
menjadi kepala sekolah. Di sini ia harus menghafal ajaran-ajaran
Konfusius yang ternyata sangat mempengaruhi hidupnya kemudian dan
menjadi falsafah perusahaannya.
Untuk menghidupi keluarga, ayah dan ibu Ju-Yung bekerja dengan tekun
sejak pagi buta hingga larut malam. Ju-Yung, seperti ayahnya adalah
putra sulung. Ia diharapkan bertanggung jawab mengasuh ketujuh adiknya
kelak, sama seperti dulu dilakukan ayahnya terhadap saudara-saudaranya
sendiri. Jadi, sejak usia 10 tahun, pukul 04.00 Ju-Yung sudah
dibangunkan ayahnya. Dalam udara dingin, mereka berjalan 8 km untuk
mencapai ladang dan bekerja di sana. Ayahnya bertekad menggemblengnya
agar menjadi petani yang tangguh.
Selain membantu ayahnya, Ju-Yung mesti bersekolah. Sepulang dari
sekolah, pelbagai pekerjaan sudah menunggunya di rumah. Meskipun
demikian, berhasil juga ia menyelesaikan pendidikan SD pada tahun 1931,
walaupun menurut Ju-Yung ia hampir tidak belajar apa-apa di bangku
sekolah.
Saat bekerja di ladang, Ju-Yung sering bertanya-tanya di dalam hati,
"Apakah ia mau bertahan setiap hari membanting tulang dengan hasil yang
tidak memadai? Apakah sebaiknya ia bekerja menjadi kuli bangunan saja
yang hasilnya lebih besar?"
Kabur empat kali
Di waktu senggangnya yang sangat sempit, anak petani ini pergi ke kantor pemerintah setempat untuk membaca Koran Dong-a, satu-satunya koran yang bisa ditemukan di desanya. la terpukau oleh cerita bersambung Bumi yang
dikarang oleh penulis populer Lee Kwang-Soo. Ju-Yung sangat mengagumi
tokoh utama cerita tersebut, tanpa menyadari cerita itu cuma rekaan.
Ia
bertekad akan pergi ke Seoul untuk belajar ilmu hukum dan menjadi
pengacara terkenal. Sejak itu, ia keranjingan membaca berbagai buku
tentang hukum yang kelak banyak membantunya dalam meniti karier.
Berkat Dong-a pula, Chung Ju-Yung larut ke dalam imajinasi
liar tentang masa depannya. Dia berangan-angan bisa membangun gedung
pencakar langit, jalan bebas hambatan, dok, dan dermaga modern, serta
membuat kapal tanker minyak, mobil, komputer, peralatan semikonduktor,
dan seterusnya sehingga bisa menjadi "raja" di bidang industri.
Angan-angan itu membuatnya semakin tidak tahan tinggal di kampung.
Di koran itu ia membaca bahwa sebuah pelabuhan sedang dibangun di
Chungjin yang letaknya ratusan kilometer dari kampung mereka. Suatu
hari, ia kabur dari rumahnya bersama seorang teman. Mereka bemiat
mencari pekerjaan sebagai kuli bangunan di sana. Mereka singgah di
Wonsan mencari kenalan yang diharapkan akan menolong, tetapi orang yang
mereka cari justru tidak ditemukan. Mereka meneruskan perjalanan ke
Chungjin. Malam hari mereka menginap di tepi jalan, kelaparan,
kedinginan, dan digigiti nyamuk. Di perjalanan, mereka mendapat
pekerjaan sebagai kuli pembuat jalan kereta api. Baru 2 bulan kemudian
ayahnya berhasil menemukan kedua remaja ini dan membawanya pulang.
Ju-Yung ingat, di perjalanan ayahnya berniat membeli apel sebagai
oleh-oleh buat neneknya, tetapi uangnya kurang. Terpaksa ia membeli apel
jatohan yang harganya jauh lebih murah.
Tahun itu juga, Ju-Yung mencoba kabur lagi dengan beberapa teman,
tetapi sempat terkejar ayahnya di perjalanan. Beberapa hari kemudian, di
koran ia melihat iklan sekolah akunting. Ia mencuri uang ayahnya
sebanyak 70 Won - hasil penjualan sapi - dan melarikan diri pada malam
hari. Sekali ini ia menumpang kereta api ke Seoul. Sisa uang yang
dibawanya cuma cukup untuk membayar sekolah, makanan, dan pondokan.
Ketika itu 10 April 1932.
Di sekolah ini ia sangat giat belajar. Usai belajar di sekolah, ia
mengurung diri di asrama dan membaca habis beberapa buku di antaranya Riwayat Napoleon, Biografi Abraham Lincoln, dan Sam Kok (Tiga Kerajaan). Tokoh-tokoh dalam buku itu memberinya semangat hidup dan mengilhaminya untuk mencapai kebesaran jiwa.
Sialnya, potongan iklan sekolah tersebut tercecer di rumah dan
ditemukan ayahnya. Ayahnya datang dan memaksanya pulang, sementara
Ju-Yung bersikeras tidak mau.
"Saya tidak mau bekerja kembali di ladang. Saya tidak mau menderita terus di sana," ujarnya.
Untuk meluluhkan hatinya, sang Ayah menjawab, "Kamu tidak tahu ya,
kalau seluruh keluarga sekarang berada di ambang kelaparan dan harus
mengemis makanan hanya gara-gara kamu? Kamu senang ya, mereka terus
seperti itu?" Ju-Yung terpaksa pulang, sebab sebagai putra sulung ia
ikut bertanggung jawab memikul beban keluarga.
Dalam perjalanan pulang, mereka singgah di Istana Chang-kyong, bekas
kediaman kaisar Korea terakhir. Tempat itu sudah dijadikan kebun
binatang oleh penguasa Jepang. Uang masuknya 50 sen, mahal menurut
ukuran kantung mereka. Demi penghematan, ayah Ju-Yung membeli satu
karcis saja dan menyuruh Ju-Yung masuk, tapi Ju-Yung memaksa ayahnya
ikut. Hal ini menggambarkan betapa sulitnya keuangan mereka.
Ketika kehidupan di kampungnya memburuk akibat bencana alam, Chung
Ju-Yung dan temannya kabur untuk keempat kalinya. Meskipun setiba di
Seoul temannya menolak melanjutkan pelarian, Ju-Yung tetap meneruskan
perjalanan seorang diri ke kota pelabuhan Inchon dengan berbekal sedikit
uang pinjaman dari temannya. Di Inchon dia bekerja serabutan, menjadi
kuli bongkar muat kapal atau membawakan barang penumpang kapal. Hasilnya
hanya cukup untuk makan. Jadi, ia mencoba mengadu untung di Seoul.
Di perjalanan, ia melewati desa Sosha yang sedang panen. Kemahirannya
sebagai petani ternyata laris. Ia diminta membantu memanen dan hasil
kerjanya selama lebih dari sebulan lumayan juga untuk bekal. Kemudian
tibalah ia di Seoul dan bekerja sebagai salah seorang kuli yang
membangun Universitas Korea sambil terus mencari pekerjaan tetap.
Ia mendapat kesempatan magang di pabrik gula, tetapi imbalannya
sangat kecil. Lagi pula, ia tidak bisa mendapat keterampilan teknis di
sini. Untunglah, ia mendapat pekerjaan di toko hasil pertanian, Firma
Bokheung. Dari pekerjaannya mengantarkan barang-barang dagangan ke
pembeli, dia mendapat imbalan makan tiga kali sehari dan ½ karung beras setiap bulan. Inilah pekerjaan tetap pertama yang berhasil diraihnya.
Saat itu tahun 1934, usianya kurang dari 20 tahun.
No comments:
Post a Comment