Sehari berselang,
Rabu malam, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, kediaman Sukarno,
berlangsung perdebatan keras antara sekelompok pemuda dengan tuan rumah
mengenai kapan saat tepat menyatakan kemerdekaan setelah Jepang takluk.
Para pemuda mendesak
agar sesegera mungkin. Bung Karno terlihat hati-hati. Suasana tegang. Banyak
pemuda yang membawa senjata: pisau, golok, bahkan senapan.
Salah seorang pemuda, entah siapa, mengejek Bung Karno, "Barangkali Bung Besar kita takut. Barangkali dia melihat hantu dalam gelap. Barangkali juga dia menunggu-nunggu perintah dari Tenno Heika."
Salah seorang pemuda, entah siapa, mengejek Bung Karno, "Barangkali Bung Besar kita takut. Barangkali dia melihat hantu dalam gelap. Barangkali juga dia menunggu-nunggu perintah dari Tenno Heika."
Seorang pemimpin
pemuda, Wikana, mendekat. "Revolusi berada di tangan kami sekarang dan
kami memerintah Bung. Kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini,
lalu..." kata Wikana sebagaimana diceritakan dalam Bung Karno:
Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
"Lalu
apa?" kata Sukarno dengan suara keras. Ia bangkit dari kursi, amarahnya
naik ke kepala. Ia melanjutkan, "Jangan aku diancam. Jangan aku
diperintah. Engkau harus mengerjakan apa yang kuingini. Pantanganku untuk
dipaksa menurut kemauanmu."
"Ini kudukku.
Boleh potong...ayo! Boleh penggal kepalaku...tapi jangan kira aku bisa dipaksa
untuk mengadakan pertumpahan darah yang sia-sia, hanya karena hendak
menjalankan sesuatu menurut kemauanmu," teriak Bung Karno seperti
dikisahkan kembali dalam otobiografi yang disusunnya bersama penulis AS, Cindy
Adams, itu.
Suasana sontak
senyap. Para pemuda dirundung perasaan campur-aduk: takut, marah, kaget, juga
bingung. Tak ada yang buka suara.
Bung Karno kembali
bicara. Kali ini, dengan tenang. "Yang paling penting di dalam peperangan
dan revolusi adalah saatnya yang tepat. Di Saigon, saya sudah merencanakan
seluruh pekerjaaan ini untuk dijalankan tanggal 17."
"Mengapa justru
diambil tanggal 17? Mengapa tidak sekarang saja atau tanggal 16?" tanya
Sukarni, salah seorang tokoh pemuda yang lain.
"Saya seorang
yang percaya pada mistik....Angka 17 adalah angka keramat, 17 adalah angka
suci....Al Quran diturunkan tanggal 17. Orang Islam sembahyang 17 rakaat dalam
sehari. Mengapa Nabi memerintahkan 17 rakaat, mengapa tidak 10 atau 20 saja?
Oleh karena kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia," ujar Bung Karno.
Ia melanjutkan,
"Pada waktu saya mendengar berita penyerahan Jepang, saya berpikir bahwa
kita harus segera memproklamirkan kemerdekaan. Kemudian saya menyadari, adalah
Kemauan Tuhan bahwa peristiwa ini akan jatuh di hari-Nya yang keramat.
Proklamasi akan diumumkan tanggal 17. Revolusi menyusul setelah itu."
Pertemuan selesai.
Para pemuda meninggalkan rumah tersebut. Pada Kamis 16 Agustus dinihari, mereka
kembali datang. Terjadilah "Peristiwa Rengasdengklok" yang masyhur
itu.