Dalam kondisi tertentu, hal-hal yang berhubungan dengan seks tidak lagi terasa nikmatnya. Berbagai gangguan bisa membuat gairah seks justru terasa sangat menyiksa, demikian juga ereksi dan orgasme yang kadang malah merepotkan.
Dari berbagai jenis gangguan tersebut, priapism boleh jadi merupakan
gangguan yang paling menyiksa secara fisik karena pada kasus tertentu
harus diatasi dengan operasi. Ada juga yang menyiksa secara batin,
antara lain parafilia yang membuat penderitanya sulit menemukan pasangan
dengan ketertarikan yang sama dengannya.
Selengkapnya, berikut ini 5 jenis gangguan yang membuat seks jadi terasa sangat menyiksa.
1. Hiperseks
Pada wanita, kondisi ini disebut juga dengan istilah nymphomania
sementara pada pria disebut satyriasis. Tanda-tandanya adalah tidak
mampu mengendalikan hasrat seksual dan kadang-kadang terpaksa harus
segera dilampiaskan pada siapapun yang saat itu kebetulan ada di dekat
si penderita.
Dilihat dari penyebabnya, kondisi ini mirip dengan orang yang tidak bisa
mengontrol nafsu makan karena sama-sama dipicu gangguan sirkuit di
otak. Namun orang masih bisa makan kapan saja dan di mana saja,
sementara untuk berhubungan seks di sembarang tempat tentu bukan ide
yang bagus.
2. Priapism
Nama penyakit ini diambil dari nama dewa kesuburan dalam mitologi Yunani, Priapus.
Sesuai penggambaran Priapus yang punya kemaluan besar dan selalu dalam
kondisi ereksi, penderita priapism juga memiliki penis yang selalu
tegang pada saat-saat yang tak terduga sekalipun tidak ada hasrat dan
rangsangan seksual. http://anehdidunia.blogspot.com
Kondisi ini sering dipicu oleh overdosis obat-obat perangsang seperti
viagra (sildenafril). Bisa juga dipicu oleh cedera sumsum tulang
belakang, lalu menyebabkan aliran darah terkonsentrasi di suatu organ
salah satunya alat kelamin yang secara anatomis letaknya cukup rendah
untuk dialiri darah.
3. Seksomnia
Jika perilaku berjalan saat tidur (sleepwalking) dianggap berbahaya,
maka berhubungan seks saat tidur tidak cuma berbahaya tetapi sekaligus
memalukan apabila terjadi saat sedang menginap di tempat orang. Sama
seperti sleepwalking, berhubungan seks saat tidur (seksomnia) juga
diggolongkan dalam kategori gangguan perilaku saat tidur atau
parasomnia.
Bicara soal angka, seksomnia cukup sering terjadi yakni mencakup 8
persen dari seluruh penderita gangguan tidur. Angka ini diperoleh
berdasarkan pengakuan pasangan tidurnya, sebab si penderita biasanya
tidak dapat mengingat apa yang dilakukannya sepanjang malam.
4. Parafilia
Sesuai dengan asal katanya yakni para (menyimpang) dan phillia
(ketertarikan), gangguan ini ditandai dengan penyimpangan hasrat
seksual. Cakupannya cukup luas, antara lain meliputi ketertarikan
terhadap obyek tertentu dari pasangannya (fetisisme), kekerasan dan
penyiksaan (sadomasokisme), mayat (nekrofilia) dan binatang (zoofilia). http://anehdidunia.blogspot.com
Dalam ilmu psikologi, gangguan ini dikategorikan dalam perilaku
Obsessive-Compulsive Disorder (OCD). Karena ketertarikannya yang tidak
wajar, penderitanya sering kesulitan untuk mendapat pasangan yang cocok.
Kalaupun ada, kadang-kadang perilaku seksual yang tidak semestinya itu
justru dapat membahayakan dirinya.
5. Persisten Sexual Arousal Syndrome
Sindrom kenikmatan seksual yang terus menerus ini menyebabkan penderitanya selalu merasa horny, meski tidak ada rangsangan seksual. Bahkan pada tingkat
kenikmatan tertentu, sindrom ini bisa memicu orgasme spontan tanpa harus
berhubungan seks.
Berbeda dengan hiperseks, sindrom ini tidak perlu dilampiaskan dengan
berhubungan seks karena kenikmatan itu akan datang sendiri dari rangsang
nonseksual misalnya makanan. Karena begitu mudahnya mendapatkan
kepuasan, dalam sehari penderita sindrom ini bisa mengalami orgasme
hingga 300 kali.
Showing posts with label HEALTH. Show all posts
Showing posts with label HEALTH. Show all posts
Tuesday, July 30, 2013
Sunday, July 28, 2013
Why Smokers Still Smoke
GIVEN how hazardous it is to their health, why do smokers continue to smoke?
Eyal Ert is a senior lecturer of behavioral and management sciences at the Hebrew University of Jerusalem. Eldad Yechiam is an associate professor of behavioral sciences at the Technion-Israel Institute of Technology.
It’s not that they are all hopeless addicts. Many smokers are capable of quitting.
It’s not that they are ignorant. Studies show that smokers are at least
as informed as nonsmokers about the risks of smoking — and possibly more
informed.
You might suspect, then, that smokers tend to be risk takers by nature.
And some evidence suggests that smokers do take more risks than
nonsmokers: they are more often involved in traffic accidents, less
likely to wear seat belts and more likely to engage in risky sexual
behavior. Women who smoke even have mammograms less frequently than
their nonsmoking counterparts.
But we don’t believe that smokers have a greater tolerance for risk. As we argue in a study published this month
in the journal PLoS One, the personality trait that distinguishes
smokers from nonsmokers is their relative inability to delay
satisfaction and respect long-term considerations (like their health).
In other words: it’s their poor self-control.
Key to our study is a card game known as the Iowa gambling task,
commonly used to measure risk taking. You are presented with four decks
of cards. Each card reveals a financial outcome: “You won $100,” or “You
lost $250,” for example. Your task is to keep picking cards from
whichever decks you would like, trying to make as much money as you can.
The twist is that the decks have different payoff distributions: two of
them offer higher risk (cards with larger gains and larger losses) but
long-term overall losses; the other two decks offer lower risk (smaller
gains and smaller loses) but long-term gains.
Most participants, after selecting several dozen cards from the various
decks, learn to stick with the two “good” decks and end up faring well.
Studies have shown, however, that people with brain lesions affecting
decision making tend to favor the “bad,” riskier decks and fare poorly.
The same is true of chronic cocaine and cannabis users. But when smokers
and nonsmokers perform the Iowa gambling task there are no significant differences
between the two groups, as the psychologist Carl Lejuez and his
colleagues have demonstrated. This strongly suggests that smokers are
not, in fact, especially tolerant of risk.
So what accounts for smokers’ risky-looking behavior? Our contention is
that smokers exhibit poor self-control in the face of immediate
temptation — which can look like a willingness to assume risk. (For
instance, you might choose to have sex without a condom not because you
are comfortable with the risk but because you are too weak-willed to
bother with the inconvenience.)
To test our hypothesis we took 100 research participants (smokers and
nonsmokers) and had them perform a modified version of the Iowa gambling
task. We focused on a subtle difference between the two “bad” decks.
One offers payoffs that commonly result in immediate satisfaction — it
produces a gain of $100 in 9 out of 10 draws — but in 1 of 10 draws it
produces a disaster: losing $1,250. The other bad deck is less
immediately satisfying — the losses are smaller ($250) but more
frequent, occurring about every second draw. Thus both decks are bad
overall but the first is more satisfying in the short run.
In addition, in our modified version, every time a participant selected a
card from one of the four decks, we showed the outcomes that would have
resulted from selecting from the other three decks. This increased the
salience of the immediately satisfying deck, since when choosing any
other deck, 9 times out of 10 the player could see that this deck
produced the best outcome.
We found that as the game progressed, smokers selected this deck about
1.5 times more than nonsmokers. They could not resist the short-term
pleasure despite the long-term disaster.
(We also had our research subjects play another version of the game in
which the good and bad decks differed in terms of risk but not in the
immediacy of their satisfying outcomes. This change wiped out the
differences between smokers and nonsmokers, confirming the Lejuez team’s
finding that smokers are not more tolerant of risk.)
Our finding is admittedly nuanced: it is not risk taking per se
that drives smokers’ risky behavior; it’s a weakness for activities
that are profitable most of the time yet hazardous eventually.
This distinction may suggest strategies for fighting smoking. For
example, hospitals and universities have started to ban smoking not only
inside buildings but also at their perimeter; while originally proposed
to address secondary smoking hazards, this may also have the benefit of
imposing an additional short-term inconvenience on smoking. If we are
right that smokers tend to have poorer self-control, such manipulations
may be used to help sustain their willpower.
Eyal Ert is a senior lecturer of behavioral and management sciences at the Hebrew University of Jerusalem. Eldad Yechiam is an associate professor of behavioral sciences at the Technion-Israel Institute of Technology.
Wednesday, July 10, 2013
Jangan Makan Apel bersama Bijinya
Biji apel mengandung zat amigdalin yang di dalam organ pencernaan bisa diubah menjadi hidrogen sianida yang beracun. Namun, kalau hanya mengonsumsi satu buah apel tentu efek toksin dari biji tersebut sangat kecil.
Apel bukanlah satu-satunya buah yang mengandung amigladin. Buah lainnya antara lain aprikot, peach, plum, almond, dan quince. Kadar amigdalin dalam apel tergolong kecil dan bijinya harus dikunyah dengan baik baru zat tersebut keluar.
Amigdalin adalah toksin glikosida yang jika digabung dengan enzim pencernaan menghasilkan hidrogen sianida, racun yang sama dengan yang disebut Cylon B. Racun tersebut juga dipakai untuk pembunuhan massal di kamp konsentrasi saat Perang Dunia II.
Meski begitu, buah atau biji buah yang mengandung amigdalin bisa diproses untuk menghilangkan zat beracunnya. Contohnya adalah singkong yang kandungan cyanogen-nya sangat tinggi, tetapi bisa diolah menjadi tepung tapioka. Pemasakan juga membuat cyanogen dalam singkong menjadi tidak berbahaya. Racun dalam kacang almond juga bisa dihilangkan dengan proses sedemikian rupa.
Amigdalin yang sudah diubah menjadi hidrogen sianida bisa berbahaya karena ia akan mengurangi kemampuan sel darah merah membawa oksigen. Meski dalam jumlah kecil tubuh bisa membuang hidrogen sianida, dalam jumlah besar, itu bisa berakibat fatal.
Seseorang yang keracunan hidrogen sianida akan mengalami gejala gemetar, lemas, mual, muntah, detak jantung berdebar cepat, dan sakit kepala. Dalam jumlah besar, hidrogen sianida akan menyebabkan sesak napas, koma, gagal napas, tekanan darah rendah, kerusakan paru, bahkan kematian.
Tetapi, tak perlu khawatir karena memakan satu buah apel utuh bersama bijinya tak akan membuat kita keracunan. Permukaan biji yang keras menjaga agar racun tetap berada di dalam biji dan bisa melewati organ pencernaan secara utuh.
Karena itu, jangan pernah menggigit biji apel. Jika ingin lebih aman, buanglah biji apel sebelum dikonsumsi, terlebih untuk anak yang kadar toleransi tubuhnya terhadap amigdalin masih rendah. Buang juga biji apel sebelum apel diblender atau dibuat jus, dibuat selai, atau sirup.
Tuesday, July 9, 2013
Believe Or Not
HIV AIDS Tak Lagi Ada Pada Dirinya
Timothy Ray Brown diketahui positif HIV AIDS (human immunodeficiency virus) pada 1995. Kini, ia masuk jurnal ilmiah sebagai orang pertama yang berhasil ‘menghapus’ virus HIV dari tubuhnya secara sepenuhnya. Dokter menyebut kondisi ini ‘penyembuhan fungsional’.Pada 2008, Brown tinggal di Berlin dan mengidap HIV dan leukemia. Di sana, ilmuwan melakukan cangkok tulang sumsum untuk mengobati leukemianya. Ilmuwan mengatakan, Brown mendapat sumsum dari donor yang termasuk dalam 1% Caucasia kebal HIV.
“Saya berhenti berobat HIV di hari saya mendapat transplan itu,” papar pria yang dijuluki ‘Pasien Berlin’ itu.
Pasien Berlin Meningkatkan Kemungkinan HIV AIDS Untuk Disembuhkan
Peneliti AIDS Dr Jay Levy dari University of California, San Fransisco (UCSF) mengatakan, kasus Brown membuka pintu ‘riset penyembuhan’.
Namun, dokter menekankan, prosedur radikal Brown mungkin tak cocok dengan penderita HIV AIDS lain karena sulitnya cangkok sumsum dan menemukan donor yang sesuai.
“Tentunya Anda tak mau melakukan cangkok ini karena risiko kematiannya,” ungkap Paul Volberding dari UCSF.
Banyak pertanyaan mengenai pengobatan Brown tak terjawab, lanjutnya. “Satu elemen pengobatannya nampaknya memungkinkan virus HIV AIDS keluar dari tubuhnya,” lanjutnya lagi.
Hal ini akan menjadi studi yang menarik, tuturnya.
Subscribe to:
Posts (Atom)